Sejarah Perkembangan Battery Lithium

Sejarah Perkembangan Battery Lithium

 Belakangan santer kita dengar di media bahwa Indonesia bakal menjadi produsen battery lithium terbesar nomor 2 didunia dengan mengembangkan industri mobil listrik berbasis battery. Hal ini sejalan dengan cadangan bahan baku yang melimpah ruah berupa nikel dan kobalt yang selama ini di hanya ekspor keluar negeri tanpa diolah. Untuk mendapatkan nilai tambah nikel dan kobalt, pemerintah berencana menggendeng berbagai investor untuk membuka parik pengolahan nikel menjadi battery lithium. Nah, Sobat Ngamen apa itu battrey lithium, berikut sejarah perkembangannya yang ditulis oleh Indarta Kuncoro Aji, Mahasiswa Doktor di The University of Electro Communications, Jepang yang di rilis dalam majalah 1000guru.




Sejarah Perkembangan Battery Lithium
Penemuan baterai litium telah membawa tiga ilmuwan: John B. Goodenough, M. Stanley Whittingham, dan Akira Yoshino memperoleh Penghargaan Nobel Kimia di tahun 2019. Stanley Witthingham adalah profesor di bidang kimia dari Binghamton University, Amerika Serikat. Ia adalah penemu elektroda interkalasi (intercalation electrodes) di tahun 1970-an dengan menggunakan titanium disulfida sebagai katode dan logam litium sebagai anode. Reaksi interkalasi adalah proses pemasukan ion yang berasal dari anode ke dalam katode. Ia adalah pemegang paten asli pada konsep interkalasi dan baterai litium yang dapat diisi ulang, sehingga ia disebut sebagai pencetus baterai litium.

Di tahun 1980-an, John Goodenough berhasil mendemonstrasikan proses interkalasi menggunakan litium kobalt oksida sebagai katode menggantikan titanium disulfida, serta mampu menghasilkan daya dua kali lipat dari pada penemuan Stanley Whittingham, yaitu sebesar 4 volt. Jhon Goodenough adalah seorang fisikawan di bidang material yang saat ini masih aktif sebagai profesor di jurusan teknik mesin, Universitas Texas, Amerika Serikat.



Berbasiskan katode litium kobalt oksida hasil penemuan Jhon Goodenough, Akira Yoshino yang saat itu bekerja di Asahi Kasei berhasil menciptakan baterai litium di tahun 1983 dengan memadukan poliasetilen (material polimer) sebagai anode yang merupakan material hasil penemuan dari Hideki Shirakawa (penerima hadiah Nobel Kimia di tahun 2000). Namun penggunaan poliasetilen kemudian dianggap tidak efektif karena daya yang dihasilkan tidak stabil, serta memiliki densitas yang rendah sehingga dibutuhkan ukuran yang besar untuk menghasilkan kapasitas daya yang besar.


 


Oleh karena itu, di tahun 1985 Yoshino menggantikan poliasetilen dengan bahan karbon yang berasal dari minyak bumi sebagai anode dan mematenkan produk tersebut, dengan kelebihan mampu menampung daya yang besar meski berukuran kecil. Baterai litium pertama kali dikomersialkan pada tahun 1991 oleh Sony dan Asahi Kasei. Setelah pensiun dari Asahi Kasei, kini Akira Yoshino aktif sebagai profesor di Universitas Meijo, Jepang.



Dalam bahasa yang lebih sederhana, interkalasi adalah proses pengisian daya (charging) dan pemakaian daya (discharging) pada baterai. Pada saat proses pengisian daya, aliran elektron akan bergerak menuju anode melalui sistem rangkaian listrik. Diikuti pergerakan ion litium dari katode yang juga bergerak menuju anode menembus pori-pori separator (pemisah antara katode dan anode) agar tercapai kesetimbangan muatan pada kutub anode. Sementara itu, pada proses pemakaian daya, aliran elektron akan kembali bergerak menuju katode melalui sistem rangkaian diikuti pergerakan ion litium menuju katode sehingga sistem ini bersifat reversible (bolak-balik).


Berkat penemuan tersebut, kemajuan teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Baterai litium digunakan di banyak peralatan elektronik seperti laptop, ponsel, alat pemutar audio, dan masih banyak lagi, bahkan juga digunakan sebagai penyimpan daya yang berasal dari energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin. Pengembangan terhadap penggunaan baterai litium saat ini tidak berhenti di situ saja, beberapa ilmuwan mulai melakukan penelitian penggunaan baterai litium sebagai sumber daya pada mobil, pesawat tempur, dan bahkan kapal selam.



Saat ini grafena (graphene) menjadi kandidat yang paling kuat sebagai material anode pada baterai litium sejak ditemukan beberapa tahun silam. Grafena dinilai memiliki densitas yang sangat tinggi dan mampu mengikat lebih banyak ion litium, sehingga mampu menyimpan daya yang sangat besar jika dibandingkan dengan material anode yang digunakan saat ini.




Advertisement

Baca juga:

------------- READ NEXT -------------